top of page
Search

Tidak Punya Agama, Apakah Buruk?

  • Writer: Teropong.
    Teropong.
  • May 2, 2019
  • 6 min read

Updated: May 31, 2019




Seperti yang kita ketahui, topik mengenai religiusitas menjadi topik yang sensitif untuk dibicarakan saat ini. Belum lagi banyaknya peristiwa yang terjadi di Indonesia yang menyangkut agama akhir-akhir ini, seperti persekusi dan kasus-kasus penistaan agama.


Selain itu, sudah menjadi stigma yang mengakar pada pikiran masyarakat Indonesia bahwa warga negara Indonesia harus menganut kepercayaan yang telah disahkan berdasarkan undang-undang di Indonesia.


Walaupun begitu, berdasarkan temuan Tim Teropong, masih ada segelintir masyarakat Indonesia, terutama kaum anak-anak muda yang tidak memeluk agama. Sebenarnya hal ini wajar saja, mengingat manusia di masa remaja memang waktunya mencari jati diri, yang mana juga termasuk dalam pencarian religiusitasnya secara personal.


Tim Teropong berhasil membuat janji dengan salah seorang yang bisa dibilang masih “abu-abu” dengan kepercayaannya pada Jumat (7/12/2018) di IMBA Coffee yang berlokasi di Soropadan, Yogyakarta. Ia adalah Amadeus Raema Yoratian, pria berambut gondrong yang kerap disapa Tian.

Amadeus Raema Yoratian (dokumen pribadi)

Tian dipilih sebagai narasumber karena ia adalah salah satu anak muda yang tidak fokus dalam agama atau kepercayaan apapun. Walaupun begitu, ia mengaku tidak sepenuhnya tidak percaya dengan keberadaan Tuhan.


Menurutnya, bila Tuhan memang ada, biarkanlah Ia ada, sedangkan apabila Tuhan tidak ada maka tidak perlu memaksa diri untuk memercayai bahwa Tuhan itu ada.


“Saya dalam keseharian masih menyebut nama Tuhan juga. Kalau mau dibilang percaya 100 persen ga bisa dibilang gitu juga. Soalnya kalo buat saya, kalo memang benar ada Tuhan ya biarkan saja, kalo memang tidak ada Tuhan, ya tidak usah diada-adakan lah,” ungkap Tian.


Tian mengaku bahwa di Kartu Tanda Penduduknya masih tertera Kristen sebagai agamanya, walaupun sebenarnya ia masih mencari-cari mana yang tepat. Ia menceritakan bahwa semasa ia kecil menganut Katolik, tetapi di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia pindah menganut Kristen. Keputusan tersebut pun masih ditentukan orang tua.


Tian menuturkan bahwa ia pun sempat aktif di gereja untuk pelayanan, khususnya dalam band gereja hingga semester genap pertama di masa kuliah.


Alasan pertama kali Tian untuk memutuskan tidak lagi fokus di agamanya adalah pada saat ia menemukan masih banyak orang yang perilakunya ketika beribadah di gereja tidak berbanding lurus dengan perilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan,


Tian mengaku anggota keluarganya pun ada yang seperti itu. Ia menuturkan bahwa anggota keluarganya yang rajin beribadah ke gereja tiap minggunya, dan tiap rabu ibadah di rumah serta jemaat lainnya masih menghakimi kepercayaan orang lain secara sepihak dan tidak menghargai perbedaan.


“Sejujurnya saya tidak terlalu suka yang begitu. Sudah beragama, kok pemikirannya masih kayak gitu. Padahal, pedomannya mengajarkan kalau untuk hidup itu saling lah menghargai, saling lah mengasihi. Makanya dari situ aku udah kayak ‘ini kok gini banget, ya?” tutur Tian.


Selain itu Tian juga mengaku sempat menemukan kejanggalan di salah satu gereja di Yogyakarta yang pernah ia kunjungi, di mana pengurusnya melakukan praktik korupsi.


Sejak itu pun, Tian memutuskan untuk mencari kepercayaan mana yang lebih cocok dengan pribadinya. Pertanyaan-pertanyaan pun muncul dalam dirinya mengenai makna-makna dari ajaran agama. Tokoh-tokoh seperti Cak Nun dan Sujiwo Tejo pun sempat memengaruhi pikirannya, di mana mereka mempertanyakan sifat agama yang begitu kaku.


“Mereka juga pernah bilang ‘Masa Tuhanmu sekaku itu? Kok kasian sekali’. Aku juga mikir ‘Iya ya. Tuhan kan maha segala. Masa Dia tidak maha asyik?’. Makanya, mungkin aku tidak harus sekaku itu. Makanya, aku melepas yang namanya ‘kotak agama’ itu,” jelas Tian.


Ditanya mengenai bagaimana ia memohon berkah, ternyata Tian menghindari hal-hal seperti itu. Ia mengaku bahwa lebih memilih untuk mengerahkan segala usahanya terlebih dahulu. Pada saat usahanya sudah dirasa maksimal tetapi belum menemukan titik terang, ia pun lebih memilih untuk menunggu saja.


Tian mengungkapkan bahwa ia sebenarnya tidak suka dengan konsep memohon berkah karena ia rasa manusia tidak sepatutnya hanya datang ke Tuhan untuk meminta berkah. Menurutnya, apapun usaha yang dilakukan pasti ada jalan untuk menuju solusi.

Walaupun telah lama memutuskan untuk tidak fokus di agama tertentu,


Tian mengaku masih berat untuk memberi tahu ibunya akan keputusannya. Tetapi, di satu sisi, ia juga masih menolak untuk pergi ke gereja bersama. Ia pun merasa dengan penolakan dan rasa beratnya ke gereja, kemungkinan keluarganya telah curiga dengan kepercayaan yang dianut anaknya.


“Aku juga masih berat sih untuk bilang ke ibuku. Tapi, aku juga masih sulit untuk diajak mereka ke gereja. Sampai sekarang mungkin mereka mempertanyakan apakah aku sudah tidak beriman lagi, sudah jauh dari Tuhan,” tutur Tian.


Tian juga mengaku ia pernah mencoba untuk mengenal beberapa agama lain yang ada di Indonesia. Tetapi ia malah berada di satu titik di mana ia merasa bahwa semua agama adalah jalannya.


Diskusi dengan teman-temannya yang menganut agama berbeda pun menyebabkan Tian menemukan inti dari masing-masing agama yang ada, sehingga ia lebih memilih untuk meresapi nilai-nilai yang ada dalam tiap agama. Tidak hanya agama, bahkan ia sempat mencari tahu nilai-nilai dari kepercayaan adat, yakni rendah hati.


“(Nilai-nilai yang ada) diserap gitu aja. Nyatanya, asik-asik aja. Ndak ada masalah,” kata Tian.


Ia pun merasa bahwa kepercayaan adat lebih menarik perhatiannya. Nilai-nilai yang unik Tian temukan dalam kepercayaan adat. Bahkan, ia menemukan bahwa nilai-nilai yang ada dalam kepercayaan adat menyerap nilai-nilai agama, sehingga fleksibel walaupun.


Tian pun juga mengaku ia tidak judgemental dengan perbedaan seseorang berdasarkan agama yang mereka anut. Ia juga pun merasa berdamai dengan diri sendiri dan berbuat baik dengan sesama jauh lebih baik daripada berbuat baik dengan Tuhan yang menurutnya masih ia pertanyakan keberadaannya, sehingga lebih realistis.


“Salah satu tolak ukur saat kita mati atau mencapai nirwana kan sesama. Sesama melihatmu baik atau tidak. Maka dari itu, berbuat baik kepada sesama lebih masuk akal daripada berbuat baik kepada sesuatu yang tidak terlihat sama sekali dan kamu lupa kalo kamu itu manusia yang berada di sekitar manusia. Kaloaku, lebih realistis aja berbuat baik sama sesama,” ungkap Tian.


Setelah menutup perbincangan dengan Tian, Tim Teropong pun tertarik untuk bertemu dengan salah satu anak muda yang aktif di komunitas agama. Setelah dikontak melalui Line, akhirnya kami sepakat untuk bertemu di indekos yang ia tinggali, sehari setelah tim bertemu dengan Tian.

Ricxen Marwan (dokumen narasumber)

Ricxen Marwan adalah salah seorang mahasiswa yang menjabat sebagai wakil ketua Keluarga Mahasiswa Buddhis (Kamadhis) di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pria berumur 20 tahun ini bergabung dengan Kamadhis sejak awal kuliah. Latar belakang yang kebanyakan sama dan agama yang sama menjadi alasan Ricxen bergabung dalam komunitas ini.


Ricxen menuturkan salah satu alasan mengapa ia bergabung dalam Kamadhis adalah untuk mendalami ajaran agama Buddha. Ia pun mengaku bahwa sebelum bergabung dalam Kamadhis, Ricxen adalah pribadi yang tidak terlalu rajin untuk beribadah, bahkan ia hanya datang ke vihara hanya setahun sekali pada perayaan Waisak saja.


“Jujur kalo aku di kotaku dulu itu aku ke vihara setahun sekali. Hari besar Waisak, tok. Padahal hari besar agama Buddhis ada empat, tapi aku cuman cuman sekali. Itu pun karena disuruh sekolah, ya udah itu baru ke vihara. Kalo engga, ga pernah,” tutur Ricxen.


Ditanya mengenai perasaan iman yang goyah, ternyata Ricxen pernah ada di tahap itu. Kurangnya mengenal ajaran agama Buddha lebih dalam menjadi faktor utama mengapa Ricxen sempat meragukan kepercayaannya.


Ia pun sempat merasa akan menganut kepercayaan agama lain sebelum berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya. Orang tua pun membebaskan pilihan Ricxen.


“(Masih) di tahap ingin mencari agama lain. Maksudnya ingin mengetahui ajaran agama lain, mungkin kalo emang ada yang cocok. Cuman kadang di satu sisi juga kadang mempertanyakan ‘emang Tuhan ada?’. Di Buddhis itu, setau aku, itu ada Tuhan tapi bukan sesosok yang dapat memberikan kita kayak berkah,” ungkap Ricxen.


Karma baik dan karma buruk menjadi fokus dalam ajaran Buddha. Segala perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya, bahkan di kehidupan sebelumnya, itu akan berdampak pada diri manusia saat ini dan kedepannya.


Ricxen mengungkapkan dalam ajaran Buddha ia dituntut untuk menanam karma baik untuk menutupi karma buruk. Bila dikaitkan dengan pernyataan Tian yang lebih berfokus berbuat baik dengan sesama, ajaran agama Buddha sangat lekat dengan diri Tian.


Ricxen pun juga memberikan pernyataan yang hampir sama, di mana bila manusia tidak bisa dekat secara langsung dengan Tuhan, setidaknya ia berbuat baik dengan orang lain, sehingga dapat secara tidak langsung mendekatkan diri dengan Tuhan.


Dari dua perbincangan yang telah Tim Teropong lakukan tersebut dapat disimpulankan bahwa hubungan diri secara personal dengan Tuhan dapat dicapai juga dengan berbuat baik kepada sesama makhluk hidup.


Pernyataan menarik dari Tian, di mana ia menemukan adanya orang yang rajin beribadah ke rumah Tuhan yang tidak berbanding lurus dengan perilakunya sehari-hari terhadap manusia atau bahkan makhluk hidup lainnya, masih sangat relevan hingga saat ini.


Di Indonesia pun masih banyak perilaku-perilaku manusia yang dilakukan dengan alasan agama yang merugikan orang lain serta tidak patut untuk dicontoh, seperti persekusi yang secara tidak langsung juga menghakimi kepercayaan orang lain secara sepihak. Pernyataan Ricxen pun sangat relevan untuk dilakukan pada saat ini.


“Jangan memandang orang lain dari agamanya, sih. Pandang orang lain dari pribadinya, dia baik atau engga. Bukan dari dia agama, berarti dia baik. Belum tentu (bila) dia memiliki agama, dia baik. Tapi pandanglah pribadi orangnya,” tutup Ricxen.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post
bottom of page